Radarjambi.co.id-Momentum 1 Mei (Hari Buruh) dan 2 Mei (Hari Pendidikan Nasional) yang lalu, mengingatkan kita akan eksistensi dosen di perguruan tinggi (PT).
Di satu sisi, dosen sebagai pekerja di PT, baik dengan status Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun status pegawai swasta/yayasan.
Di lain sisi, dosen juga sebagai pengajar sekaligus pendidik. Terkait itu, apakah pendekatan yang pas terhadap eksistensi dosen di PT, terutama aspek karier, kesejahteraan, dan mentalnya.
Ada dua pendekatan terhadap eksistensi dosen di Indonesia. Pertama, pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini memandang dosen sebagai tenaga pengajar pada PT dengan tagihan angka kredit (AK).
Dalam penentuan kariernya, misalnya, dosen dihadapkan pada empat jenjang jabatan fungsional. Yaitu, Asisten Ahli (150 AK), Lektor (200 AK, 300 AK), Lektor Kepala/LK (400 AK, 550 AK, dan 700 AK), dan Guru Besar/GB (850 AK, 1050 AK).
Berorientasi AK
Saat mengurus kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya, seorang dosen barulah tampak produktif.
Ia sibuk menulis artikel dan mengirimkannya ke jurnal terindeks SINTA 1-6. Kemudian ia juga sibuk melakukan pengabdian kepada masyarakat (PKM), ikut seminar, dan lain-lain.
Pendek kata, kesibukan dosen dalam mengurus kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya berorientasi pada AK yang akan diperolehnya.
Dampak minus pendekatan kuantitatif menyebabkan dosen lebih cenderung mengejar jumlah ketimbang mutu. Akibatnya, dosen melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti melakukan publikasi ilmiah sebanyak 160 buah dalam kurun waktu 3,5 bulan.
Atas kondisi itu, muncullah dugaan tindak plagiat atau rekayasa atas kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Dengan begitu, kita perlu koreksi ulang penerapan pendekatan kuantitatif dalam jenjang karier dosen di Tanah Air.
Selama ini, nyata-nyata dosen telah menjadi buruh AK.
Guna berhasil meraih jabatan fungsional LK atau GB, oknum dosen sampai-sampai menggunakan joki karya ilmiah dan jurnal predator.
Alih-alih itu berhasil, justru menabrak etika publikasi ilmiah/akademik. Mestinya urusan jabatan fungsional tidak semata-mata dinilai dari aspek AK, tetapi juga kompetensi bidang ilmu seorang dosen dalam komunitas ilmiahnya, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Kedua, pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini meniscayakan dosen sebagai pendidik dan pengembang bidang ilmu. Disebut pendidik, karena dosen tak semata-mata transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga transfer nilai-nilai (transfer of values).
Bahkan, penulis menambahkan, adanya transfer kebahagiaan (transfer of happiness).
Misalnya, dosen memberikan apresiasi atau hadiah buku kepada mahasiswa yang berprestasi di kelasnya.
Kemudian disebut pengembang bidang ilmu, karena dosen tak hanya mengajar, tetapi juga belajar.
Tentu, dosen yang baik adalah dosen yang mengajar sekaligus belajar. Aktivitas mengajar-belajar dapat diejawantahkan dalam darma pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ketiga darma itu bersifat sinergis dan adaptif sehingga dosen dapat lebih optimal dalam mengembangkan bidang keilmuannya.
Refleksi
Aspek karier, kesejahteraan, dan mental dosen berada di antara dua pendekatan di atas. Pendekatan kuantitatif membuat dosen menjadi tenaga pengajar di PT dan terbatas pada lingkup AK atau sistem kredit semester (SKS).
Karena itu, Sumbo Tinarbuko menyindir halus, dosen dulu pahlawan, kini buruh SKS. Akibatnya, tak sedikit dosen melakukan sejumlah perbuatan niretika, seperti plagiat, joki ilmiah, dll.
Sebaliknya, pendekatan kualitatif mendorong dosen melampau dirinya sebagai tenaga pengajar. Dosen juga menjadi pendidik dan pengembang bidang ilmu.
Alhasil, dosen akan menyampaikan 3 transfer sekaligus: pengetahuan, nilai-nilai, dan kebahagiaan. Ketiga transfer itu diyakini akan meningkatkan kualitas PT kita.
Semoga momentum Hari Buruh dan Hardiknas ini menjadikan para dosen berefleksi atas karier, kesejahteraan, dan mentalnya sendiri.(*)
Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY
Dr. Siti Salamah, M.Hum., Dosen PBSI FKIP UAD
Zultiyanti, M.A., Dosen PBSI FKIP UAD
Peran Pemerintah Daerah dalam Menerapkan Prinsip Akuntabilitas untuk Good Governance
Pengelolaan Keuangan Publik yang Transparan dan Akuntabel Demi Good Governance
Penguatan Pengawasan Internal sebagai Fondasi Good Governance di Sektor Publik
Peran Lembaga Pengawasan dalam Mendorong Praktik Good Governance di Pemerintahan
Ribuan Warga Sungai Manau Bergelora Menyambut Bang Syukur Dan Khafid Muin