Iduladha atau Idul Adha ?

Sabtu, 15 Juni 2024 - 21:13:18


Sudaryanto dan Hasrul Rahman
Sudaryanto dan Hasrul Rahman /

Radarjambi.co.id-Setiap tanggal 10 Zulhijah, kita umat Muslim merayakan Iduladha. Tahun 2024 ini, tanggal 10 Zulhijah 1445 Hijriah jatuh pada tanggal 17 Juni 2024.

Saat merayakan Iduladha, sering dijumpai kesalahan penulisan kata Iduladha di spanduk, pamflet, dan infografik.

Di sini, muncullah pertanyaan: dari segi kaidah kebahasaan bahasa Indonesia, yang tepat ditulis Iduladha atau Idul Adha? Kemudian ditulis cukup Iduladha atau harus Hari Raya Iduladha?

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI menyebut, Iduladha bermakna ‘hari raya haji yang jatuh pada tanggal 10-13 Zulhijah yang disertai dengan penyembelihan hewan kurban (seperti sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu’.

Makna itu menguatkan pendapat bahwa dari segi kaidah kebahasaan bahasa Indonesia, yang tepat ditulis Iduladha, bukan Idul Adha.

Dengan begitu, kita umat Muslim seyogianya menggunakan istilah Iduladha.

Iduladha
Selain itu, makna serupa juga menguatkan pendapat bahwa dari segi kaidah kebahasaan bahasa Indonesia, terutama ilmu makna, cukup ditulis Iduladha.

Tidak harus ditulis Hari Raya Iduladha. Pertimbangannya, karena dalam makna Iduladha telah terkandung hari raya.

Dengan demikian, kita umat Muslim seyogianya juga menggunakan istilah Iduladha, bukan Hari Raya Iduladha. Alih-alih tepat, Hari Raya Iduladha termasuk bentuk kelewahan dalam berbahasa.
Kasus serupa ditemui pada penulisan Idulfitri dan Hari Raya Idulfitri.

KBBI Edisi VI menyebut, Idulfitri bermakna ‘hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan’.

Melalui makna itu, ditegaskan bahwa penulisan yang tepat adalah Idulfitri, bukan Idul Fitri. Kemudian cukup ditulis Idulfitri dan tidak harus Hari Raya Idulfitri.

Dari kasus penulisan istilah Iduladha dan Idulfitri itu, kita belajar dua hal. Pertama, kita menghindari budaya kelewahan (baca: kemubaziran) dalam berbahasa.

Selama ini, jujur diakui, sebagian di antara kita masih melakukan hal itu. Sebagai contoh, kita suka mengucapkan kata sangat dan sekali dalam satu kalimat, baik tulisan maupun tuturan.

Contoh lainnya, kata agar dan supaya dan kata demi dan untuk. Sekali lagi, kita perlu menghindari budaya kelewehan.
Kedua, kita membiasakan yang benar (dari segi kaidah kebahasaan), bukan membenarkan yang biasa.

Penulisan Iduladha, Idulfitri, Zulhijah, Syawal, dll. sudah benar dengan kaidah kebahasaan bahasa Indonesia. Sedangkan Idul Adha, Idul Fitri, Dzulhijjah, Syawwal, Hari Raya Idul Adha, Hari Raya Idul Fitri, dll. tidak benar dengan kaidah kebahasaan bahasa Indonesia.

Dengan begitu, marilah kita membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa!

Berikutnya, momentum Iduladha dilaksanakan pada bulan Zulhijah. KBBI Edisi VI menyebut, Zulhijah bermakna ‘bulan ke-12 tahun Hijriah (29 hari)’. Selama ini, ada pihak yang menulis Dzulhijjah atau Zulhijjah.

Bila merujuk KBBI Edisi VI, yang benar ditulis Zulhijah, bukan Dzulhijjah atau Zulhijjah. Demikian halnya dengan bulan Syawal. Dalam KBBI Edisi VI tertera Syawal, bukan Syawwal atau bahkan Syawaal.

Kurban

Kembali ke Iduladha. Dalam momentum Iduladha, biasanya dilaksanakan penyembelihan hewan kurban, seperti biri-biri, sapi, dan unta.

KBBI Edisi VI menyebut, kurban berarti ‘persembahan kepada Allah Swt. (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan muslim kepada-Nya’.

Atas arti itu, kita sebagai Muslim seyogianya menggunakan kata kurban, bukan qurban atau bahkan korban.

Arti kurban dalam KBBI Edisi VI itu, selaras dengan QS Al-Hajj [22] ayat 34. “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.”

Semoga Iduladha yang kita sambut dan rayakan ini menjadi momentum bagi umat Muslim untuk lebih bertakwa kepada Allah Swt., juga bertenggang rasa dengan semua makhluk di Bumi. Insyaallah. (*)

 

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Anggota PRM Nogotirto
Hasrul Rahman, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes