ADA sebuah adagium yang mengatakan bahwa pendidikan menunjukkan budaya. Semakin tinggi pendidikan seyogyanya linier dengan peningkatan budaya. Jika kita mengacu kepada adagium tersebut seolah pemerintah (lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal) tidak lulus dalam melaksanakan pendidikan, buktinya korupsi seolah sudah tidak terbendung lagi yang notabene dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Semakin tiggi pendidikan, korupsi juga semakin dahsyat.Â
Birokrat, legislative, akademisi yang sudah pasti menempuh pendidikan, setelah mempunyai jabatan atau menjabat profesi tertentu banyak yang terjebak korupsi.
Dikalangan birokrat misalnya: gubernur, bupati, walikota, sekda seakan silih berganti di berbagai daerah di Indonesia disidangkan di kursi pesakitan. Di legislative juga demikian, yang seharus mereka sebagai pilar terdepan mempraktekkan jiwa kenegarawanan yaitu lebih mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan golongan, malah mempertontonkan gaya hidup konsumerisme dan hedonisme.Â
Buya dan intelektual terkenal Indonesia Prof. Dr. H. Syafei Maarif memberikan julukan oknum-oknum tersebut dengan sebutan manusia Tunabudaya. Penulis menafsirkan istilah tersebut bermakna mereka punya budaya tapi tidak berfungsi, dianalogikan seperti seseorang yang punya telinga tapi tunarungu, punya mata, tapi tunaaksara.Â
Dikalangan akademisi juga mengagetkan karena beberapa oknum rektor di Indonesia terlibat korupsi, bahkan Wamen ESDM yang sebelumnya seorang akademisi juga tertangkap tangan oleh KPK. Berdasarkan fakta ini kita berikan apresiasi kepada Ditjen Dikti dua tahun yang lalu secara massal kembali membangun karakter bangsa Indonesia dengan memberikan pembekalan melalui penataran “Pendidikan Anti Korupsi (PAK)†kepada calon pengampu mata kuliah PAK, dimaksudkan agar para dosen yang telah memperoleh Penataran ini dapat meneruskan kepada seluruh mahasiswa di Perguruan Tingginya, dengan memasukkan dalam kurikulum baru sebagai mata kuliah khusus atau dapat juga disisipkan dalam mata-mata kuliah yang terkait pada setiap program studi.Â
Ditjen Dikti juga telah memfasilitasi dosen pengampu mata kuliah ini dengan modul, power point dan beberapa film tentang praktek korupsi yang telah dicopykan ke dalam disket/flash disk. Pokoknya kemasan Pendidikan Anti Korupsi ini telah dibuat semenarik mungkin bagi mahasiswa.
Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah membangun dan memperkuat sikap anti korupsi individu melalui pendidikan dalam berbagai cara dan bentuk.Â
Pendekatan ini cenderung membutuhkan waktu yang lama untuk melihat keberhasilannya, biaya tidak besar (low costly) ketimbang tiga pendekatan lainnya (Lawyer Approach, Bussines Approach, dan Economist Approach), namun hasilnya akan berdampak jangka panjang (long time). Beberapa trik budaya yang dapat diimplementasikan misalnya: (1). Menghargai nilai-nilai Kejujuran. Tidak mentolerir siswa/mahasiswa yang melakukan perbuatan nyontek (cheating) dan pelaku plagiator dengan memberikan hukuman/punishment yang berat dan memberikan apresiasi prestasi sesuai kemampuan seseorang tetapi diraih dengan cara-cara yang jujur.Â
(2). Menghidupkan kembali kearifan lokal, seperti: pemeo, slogan klasik maupun modern yang terdapat dalam budaya suatu daerah. Misal menyadarkan mereka yang tidak mau kerja keras atau jalan menerabas (shortcut), dengan slogan alon-alon waton kelakon (slogan primordial Jawa) atau pepatah dari Melayu : Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian.Â
(3). Dapat pula mempopulerkan adagium “Malu Jika Menyontekâ€, “unhonestly trend corruptâ€, atau “cheating potensial corrupt. Slogan-slogan ini perlu ditempel di ruang-ruang kelas/kuliah. Kontradiksi juga tak dapat dielakkan, karena kita masih menemukan siswa ketika Ujian Nasional mendapat contekan dari oknum guru.
(4). Membangun kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Misalnya dalam promosi jabatan harus berdasarkan kapabiltas dan profesionalisme, tidak berdasarkan “Baperjakat†(Badan Pertautan Jauh Dekat) dan tidak obyektif serta tidak transparan ataupun penerapan prinsip akuntabilitas yang lemah, maka korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Â
(Penulis adalah Dosen FISIPOL UNJA, Ketua Unja Kampus Sarolangun serta Ketua Pelanta (NIA. 201307002)
Sanksi Administratif Politik Uang, Kewenangan Hampa Bawaslu dalam Revisi UU Pilkada
Petugas Kebersihan Sekolah, Laksana Pencerah Pengetahuan di Pagi Hari (Dalam Mewujudkan Mutu Pendid
Menggairahkan Pemilih di Pilkada Serentak Tahun 2017 Oleh: SUPARMIN SH MH
Kepala Daerah Nyabu, Kepercayaan Rakyat (Akan) Memudar Oleh: Khotib Syarbini
Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
KPU Gelar Debat Publik Kedua Calon Bupati dan Wakil Bupati Merangin