Refleksi Hari Perempuan Pedesaan Sedunia 15 Oktober 2021

Minggu, 17 Oktober 2021 - 21:36:09


Meilisa Dwi Ervinda
Meilisa Dwi Ervinda /

15 Oktober, seharusnya menjadi momentum layaknya peringatan hari penting lainnya. Namun, tak banyak dari kita yang mengetahui tentang krusialnya tanggal ini.

Ya, Hari Perempuan Pedesaan Sedunia atau Rural Women's Day, menjadi kilas balik peran perempuan pedesaan di masyarakat dalam menyongsong perubahan.

Hendaknya menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya bebas dari kelaparan dan kemiskinan. Lantas sejak kapan  sebenarnya Hari Perempuan Pedesaan Sedunia itu ada?
 
Hari Perempuan Pedesaan Sedunia

Perayaan ini bermula pada tahun 2008 pasca keputusan dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam surat resolusi 62/136 pada tanggal 18 Desember 2007 tentang perhatian khusus terhadap perempuan pedesaan, dan resolusi tersebut menjadikan Hari Perempuan Pedesaan jatuh pada 15 Oktober.

PBB mengadopsi Konversi Penghapusan atas Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, terurai dari pasal 14 konversi yang secara khusus memberikan perhatian terhadap peningkatan kehidupan perempuan pedesaan dan membuat aturan-aturan tepat,  guna menghapus diskriminasi perempuan khususnya dalam pembangunan desa (koalisiperempuan.or.id 16/10).
 
Di Indonesia sendiri-sebagai salah satu negara peserta-melahirkan Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) dengan tujuan menjadikan desa sebagai subyek, berdaulat, dan otonom dalam pembangunan yang berpegang teguh pada prinsip kesetaraan gender agar kesempatan terbuka lebar baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Disinilah harapan perempuan dapat terlibat menjadi agen perkembangan sekitar, namun tetap saja dalam praktiknya permasalahan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender menjadi biang keladi menghambatnya perkembangan perempuan pedesaan.
 
Pada tahun 2021 ini, dikutip dari laman PBB, peringatan Hari Perempuan Pedesaan Sedunia adalah kunci dunia yang bebas dari kelaparan dan kemiskinan (key for a world free from hunger and poverty).

Dengan harapan bisa memberikan perempuan kesempatan ysng sama dengan laki-laki, sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian 2,5-4% di daerah miskin dan dapat mengurangi 12-17% orang yang kekurangan gizi.  

Lebih jelasnya kita bisa menelisik kembali peran perempuan desa dalam membebaskan dunia dari kelaparan dan kemiskinan.
 
Peran Perempuan Pedesaan

Secara umum perempuan pedesaan masih menjadi penanggungjawab kerja-kerja pengasuhan, perawatan rumah tangga, pengelolaan ekonomi keluarga, dan cenderung dikecualikan dari ruang publik (Sigiro, 2019).

Perempuan-perempuan pedesaan seperempat dari populasi dunia bekerja sebagai petani, pencari nafkah, dan pengusaha. Pola yang serupa juga dialami di pedesaan. Pedesaan merupakan pemasok utama sumber daya alam, pemasok tenaga kerja, penyedia lahan pertanian dan perkebunan, dan berfungsi sebagai paru-paru bumi dengan perhatian pada kawasan hutannya.

Namun, dalam Jurnal Perempuan tentang Catatan Agensi Perempuan Pedesaan (2019) mengatakan bahwa mirip dengan konsep kritik Simone de Beauvoir tentang posisi perempuan sebagai “the second sex”, pedesaan identik sebagai masyarakat kelas dua, yang lekat dengan makna keterbelakangan, rentan terhadap kemiskinan, dan sering dipandang sebelah mata dalam kebijakan-kebijakan investasi dan pembangunan.
 
Sedangkan menurut Priminingtyas (2007) peran perempuan pedesaan di antaranya:

1. Mencari Nafkah, awalnya bekerja merupakan tanggung jawab laki-laki, namun karena bertambahnya kebutuhan keluarga dan penghasilan suami tidak mencukupi maka perempuan pedesaan turut mencari tambahan.

Tak heran jika banyak juga  perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga melalui kebijakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang menjadi salah satu bukti adanya ruang emansipatif nyata untuk perempuan (Beritabaru.co 7/12/20). 

Mencari nafkah juga dilakukan oleh perempuan pedesaan Sungai Namang, Kalimantan Selatan,  yang menjadi buruh di perkebunan sawit, dan saat musim hujan perempuan masih memiliki lahan yang dapat digunakan untuk menanam sayur meskipun dalam jumlah kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja.

2. Mengasuh Anak, seperti perempuan lainya, Perempuan desa juga identik dengan peran ganda yang dapat melakukan segala sesuatu secara bersamaan. Seperti bekerja dan mengasuh anak yang mana pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar.

3. Mengolah rumah tangga dan memenuhi kehidupan anak, seperti yang terjadi perempuan desa Pakoh Sari, Kalimantan Tengah misalnya, harus mengambil peran kepala keluarga karena laki-laki dan anggota keluarga dewasa meninggalkan desa untuk mendapatkan penghidupan sehingga tatanan gender, perempuan mengambil alih hampir semua peran orang dewasa.

Hal serupa terjadi di Desa Kantan Atas, dengan wilayah sekitar perkebunan sawit, perempuan akhirnya memilih untuk bekerja buruh sawit, karena tidak banyak pekerjaan yang tersedia bagi laki-laki.

Mereka lebih memilih meninggalkan desa, dan perempuan desa Kantan Atas harus hidup sendiri untuk mengurus rumah dan anak-anak, mengurus kebun yang masih ada dan mencari pakan ternak, perempuan desa harus hidup sendiri, atau bersama anak-anak yang masih kecil, dan menjadi perempuan kepala keluarga.

Selain itu, kontribusi perempuan pedesaan dalam memastikan keberlanjutan rumah tangga dan masyarakat pedesaan, meningkatkan mata pencaharian pedesaan dan kesejahteraan, kontribusi yang signifikan terhadap produksi pertanian, ketahanan pangan dan nutrisi, pengelolaan lahan dan sumber daya alam, dan membangun ketahanan iklim.

Jika sudah demikian, lantas apakah sudah ada tindak lanjut dari kontribusi perempuan pedesaan di Indonesia? Atau hanya sekadar lalu lalang belaka? Tanpa ada sorotan lebih lanjut perihal Hari Perempuan Pedesaan Sedunia ini?
 
Harapan saya, semoga peran perempuan pedesaan ini ditinjau lebih dalam bukan sekadar lalu lalang saja, karena dilihat dari segi kontribusi yang dihadirkan perempuan-perempuan pedesaan di seluruh dunia menyumbang besar baik dari segi pengurangan kemiskinan hingga pemenuhan kebutuhan pangan itu sendiri. (***)
 

Penulis: Meilisa Dwi Ervinda, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka Dalam Negeri (PMM-DN).