Radarjambi.co.id-Bukan manusia istimewa yang ahli berpendapat atau berpetuah kata-kata. Hanya sebagai lulusan MA Al Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temannggung Jawa Tengah yang sedang menempuh masa studi S1 di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD.
Menempa diri menjadi generasi yang harapannya bisa berkontribusi dan berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Pendidikan adalah proses penempaan individu menjadi pribadi berkarakter. Mulai dari pendidikan di taman kanak-kanak hingga di perguruan tinggi.
Hari ini adalah wujud realistik dari tempaan pendidikan masa lalu. Di perguruan tinggi sebagai wujudan dari masa SMA, SMA sebagai wujudan masa SMP, begitupun seterusnya ke bawah.
Meskipun tidak semua orang bisa tergambarkan dengan pendidikannya di masa lalu, tetapi pasti ada satu, dua, tiga kontribusi yang disumbangkan oleh pendidikan sebelumnya.
Sebelum saya berdiri di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya sudah dilatih bagaimana cara supaya seimbang saat nantinya berdiri di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bagaimana nantinya menjadi mahasiswa yang bukan sekadar mengisi presensi menggugurkan kewajiban kehadiran.
Ada amanah yang diemban saat memulai berdiri di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pernyataan saya dulu mengenai apa gunanya belajar bahasa Indonesia, toh bahasa sendiri pasti sudah bisa banget. Alhasil ketika memasuki prodi bahasa Indonesia, seakan ditanya "asli warga negara mana?” Saking rendahnya pengetahuan saya mengenai kekayaan materi bahasa Indonesia.
Ketahuilah kawan, semua prodi memang tidak mudah, tetapi mampelajari bahasa Indonesia berati menambah tanggung jawab keberadaan bahasa Indonesia. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi tongak berdiri gagahnya bahasa di bangsa sendiri.
Guru menjadi salah satu pengemban berdiri tegaknya bahasa Indonesia. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi masa depan keberadaan guru bahasa Indoneia.
Belajar dari bagaimana guru bahasa Indonesinya dulu mengajar bisa menjadi referensi. Sebagai calon pemangku berdiri tegaknya bahasa Indonesia di tanah air, pemikiran “ingin jadi guru seperti apa nantinya” menjadi hal yang wajar ketika dirinya sudah meniatkan menjadi guru bahasa Indonesia nantinya.
Belajar dari guru bahasa Indonesia semasa SMA, beliau tidak banyak bicara, membicarakan teori bagaimana supaya bahasa Indonesia digemari untuk dipelajari atau bagaimana caranya supaya memotivasi peserta didiknya.
Digemarinya beliau dan motivasi yang beliau sampaikan adalah melalui tindakan. Sebagian dari jadwal mengajarnya adalah aksi. Aksi menggerakkan bermain drama, melantunkan syair, terjun ke lapangan membuat berita reportase, inti dari ajaran beliau adalah materi untuk beraksi. Hanya materi bahasa Indonesia yang bisa dialih wahanakan.
Pendidikan yang diterapkan guru bahasa Indonesia semasa saya SMA memberikan kesan yang tidak biasa.
Disaat semua mata pelajaran sedang serius-seriusnya dengan rumus dan teori, dengan bahasa Indonesia beliau mengkreasikan materi dengan praktik tanpa memikirkan rumus dan teori.
Karakter yang muncul menjadi salah satu pengembangan karakter pembelajaran abad-21. Berkegiatan di lapangan menyelesaikan masalah berupa tugas atau intruksi dari guru dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, berkolaborasi, dan berkomunikasi.
Tertanam kuatnya kelestarian bahasa Indonesia bermula dari pendidikan yang diberikan guru, bagaimana guru bisa membuat peserta didik tertarik dan menanti-nanti pelajaran itu tiba.
Hingga sampai pada tahapan peserta didik bangga dengan bahasa bangsanya sendiri. Untuk para guru maupun calon guru bahasa Indonesia, bangsa ini memerlukan regenerasi untuk melanjutkan perjuangan melestarikan bahasa Indonesia. Jika 1000 metode yang perlu dicoba untuk lestarinya bahasa Indonesia, maka cobalah berbagai rasa itu.(***)
Penulis: Neissaroh Al Mardhiah, Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD.
Siswi SMA 2 Tebo Bicara Tentang Krisis Iklim Di KTT Iklim PBB