Radarjambi.co.id-Tradisi mudik di Nusantara merupakan dialektika kultural yang sudah berlangsung ratusan tahun. Akar sejarah mudik di Nusantara memiliki banyak versi.
Beberapa diantara versi tersebut tersebutlah Umar Kayam yang menyebutkan bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur.
Tradisi ini sudah ada sebelum Majapahit. Versi kedua menyebutkan bahwa tradisi mudik ada sejak era Majapahit. Purnawan menjelaskan bahwa punggawa kerajaan Majapahit yang ditugaskan di daerah yang jauh akan kembali ke daerah asal pada waktu-waktu tertentu.
Versi ketiga mendasarkan pada pernyataan Ivan Lanin yang pernah menelusuri istilah mudik di Malay Concordance Project. Diksi mudik terdapat dalam naskah Hikayat Raja Pasai dengan kisaran tarikh 1390. Dalam naskah ini, mudik berarti pergi ke hulu sungai.
Sementara versi keempat sebagaimana keterangan Silvero bahwa mudik berawal dari masa Majapahit yang kemudian dilakukan juga oleh para pejabat kerajaan Mataram Islam.
Para pejabat kerajaan yang berjaga di wilayah daerah akan menghadap kepada raja pada saat acara sungkeman di bulan Syawal. Mudik pada masa ini banyak dilakukan dengan cara berkuda, naik pedati, tandu atau jalan kaki.
Versi kelima menyebutkan bahwa tradisi mudik berasal pada masa kolonial Belanda. Para pekerja pribumi yang bekerja di perkebunan atau pabrik Belanda melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman pada saat menjelang lebaran.
Pada masa ini, para pekerja sudah dapat memakai transportasi berupa kereta api dan kapal api, namun ada juga yang masih tetap jalan kaki.
Secara historis teologis, mudik dapat merujuk pada kisah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang pernah melakukan safar pulang ke kampung halaman.
Dalam catatan Muchlis Hanafi Rasulullah Saw pernah mudik kembali ke Makkah Almukaromah setelah delapan tahun tinggal di Madinah. Beliau mudik pada tanggal 10 Ramadhan 8H (8 Juni 632M). Beliau tinggal di Makkah selama 19 hari. Rasulullah dan para sahabat tampaknya juga memiliki rasa rindu pada kampung halaman. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Demi Allah. Engkau adalah sebaik-baik bumi, dan bumi Allah yang paling dicintaiNya. Seandainya aku tidak terusir darimu, aku tidak akan keluar (meninggalkanmu) (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 3925)
Kata mudik memiliki akar kata udik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia udik diartikan sebagai
1) sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber); (daerah) di hulu sungai,
2) desa; dusun; kampung (lawan kota),
3) kurang tahu sopan santun; canggung (kaku) tingkah lakunya; kampungan.
Sementara kata mudik berarti 1) berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman), 2) pulang ke kampung halaman.
Tradisi mudik paling tidak telah mengharmonisasikan tiga fungsi, yakni fungsi imanensi, fungsi silaturahim dan fungsi ekonomi. Pertama, fungsi imanensi mudik adalah menjaga kemurnian tauhid dan berbuat baik kepada orang tua. Hal ini sebagaimana termaktub dalam ayat Quran berikut.
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (Q.S. Al Isra [17]: 23)
Kedua, fungsi silaturahmi menyaran pada kondisi hubungan antarmanusia yang damai, harmonis, saling tolong menolong, dan penuh dengan kasih sayang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut.
Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain. (HR. Bukhari no. 5991)
Pesan menjaga silaturahmi juga disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa maafkanlah orang yang berbuat salah kepadamu, dan janganlah berhenti mendoakan yang terbaik untuk orang yang engkau sayangi.
Adapun fungsi ketiga adalah fungsi ekonomi. Terdapat perputaran uang dalam tradisi mudik tiap tahun. Pada saat mudik terdapat tradisi pitrah. Sebuah istilah umum untuk menyebut aktivitas bagi-bagi uang kepada sanak saudara.
Pada mudik tahun 2022 Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mensinyalir perputaran ekonomi mencapai Rp 70 triliun. Pada tahun 2023 proyeksi jumlah pemudik akan naik hingga angka 123,8 juta.
Dengan jumlah tersebut perputaran ekonomi ditargetkan mencapai Rp 100 triliun hingga Rp 150 triliun.
Secara leksikal mudik merupakan tradisi primordial yang memuat kandungan makna tentang asal-usul genetis, geografis dan transendental. Kuntowijoyo menyebutkan mudik sebagai proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian. Hal ini senada dengan tiga fungsi tradisi mudik tersebut.
Apabila tradisi mudik dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan masyarakat yang harmonis antara imanensi, silaturahmi dan ekonominya.
Emha ainun Nadjib menyatakan bahwa mudik adalah latihan tahunan untuk membangun ketrampilan budaya agar kelak siap menjadi penduduk surga.
Mudik adalah tahap awal dari pembelajaran ilaihi roju'un di kampung halaman asal usul manusia sejak bapak Adam didomisilikan dahulu kala. (*)
Penulis : Wachid E. Purwanto
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UAD
Aswan Hidayat Usman Terpilih menjadi Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi periode 2024-2027