Radarjambi.co.id-Belajar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) nampaknya tak main-main menggalakkan literasi dipenjuru negeri.
Setelah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN), Gerakan Literasi Sekolah (GLS) kini tiba Perguruan Tinggi (PT) beperan dalam menyukseskan gerakan literasi.
Budaya literasi yang sempat berjaya di era 90-an kini sangat memprihatinkan.
Berbagai media massa seperti koran dan majalah yang sempat menjadi santapan sehari-hari kini tinggal kenangan.
Beberapa diantaranya sudah gulung tikar, meskipun beberapa masih ada yang bertahan namun hanya cetak terbatas sehingga jangkauan pemasaran tidak bisa diakses di daerah.
Beruntunglah Anda yang memiliki kenangan dengan loper koran, setiap pagi ia setia melemparkan senyuman juga melemparkan koran di halaman sambil berteriak “koraaaaan…..”.
Tidak lama kemudian Ayah keluar membaca koran sambil menikmati secangkir kopi dan gorengan di halaman.
Tentu anda tidak mau kalah, merengek minta di belikan majalah anak-anak dengan menggunakan senjata pamungkas menangis.
Orang tua yang merasa kasihan bersusah payah membelikan majalah yang diminta sekalipun mahal harganya.
Ada juga yang menggunakan uang tabungannya dibelikan majalah keagamaan yang berisi tentang azab orang-orang lalai, majalah tersebut sempat hits dijamannya.
Setelah memiliki majalah tersebut Anda yang memiliki jiwa usaha tentu membawanya ke sekolah untuk disewakan kepada teman-teman dengan biaya sewa perhari 100 rupiah.
Suasana berebut majalah sepulang sekolah pun menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Ketika berada di bangku SMP dan SMA, Anda tentu pernah memperebutkan majalah ketika hendak membelinya di pinggir jalan.
Anda pun dengan bangga memajang poster artis yang merupakan hadiah majalah pada dinding kamar Anda.
Apalagi Anda yang mempunyai kenangan mencoba ragam masakan nusantara hasil kreasi Ibunda tercinta.
Pada waktu itu banyak sekali ibu rumah tangga yang terobsesi menghadirkan masakan nusantara dari resep makanan yang terdapat di tabloid yang ia baca. Sungguh pengalaman yang indah bukan.
Betapa indahnya tahun 90-an bacaan yang hadir di tengah-tengah masyarakat menyasar semua kalangan.
Setiap keluarga memiliki bacaannya masing-masing. Bahkan yang tidak beruntung sekalipun untuk memilikinya, akan datang ke pusat penyewaan buku disekitar rumah mereka.
Pada era 90-an usaha peminjaman buku sangat menjamur. Biasanya buku yang disewakan berupa komik, buku cerita anak, dan majalah karena pada waktu itu terbilang mahal.
Jika tidak memiliki uang untuk menyewa sekalipun, tidak kehilangan akal biasanya pergi ke toko buku sambil diam-diam membaca sampel buku.
Kurang lebih sedikit gambaran pada era tahun 90-an yang tentu berbeda jauh dengan kondisi saat ini.
Nampaknya Kemendikbudristek ingin menghadirkan kembali budaya membaca buku di tengah-tengah masyarakat.
Melalui Program Peningkatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) Kemendikbudristek tak main-main menjadikan pojok literasi sebagai salah satu program prioritas untuk dikembangkan.
Salah satu program PPK Ormawa yaitu merintis pojok literasi di 5 titik disetiap wilayahnya.
Untuk mendukung program tersebut tentu perlu peran serta semua pihak termasuk salah satunya Perguruan Tinggi.
Organisasi kemahasiswaan yang berada di lingkungan PT dibidik menjadi relawan literasi. Setiap PT diwajibkan untuk berkompetisi menyusun proposal PPK Ormawa.
Tim ormawa yang berhasil lolos pada tahap seleksi akan melaksanakan program literasi selama 6 bulan lamanya.
Mahasiswa akan menghidupkan pojok literasi di setiap wilayah dengan berbagai program yang telah mereka rancang. Program tersebut diantaranya:
(1) merintis 5 titik pojok literasi disetiap kelurahan,
(2) Menyusun struktur organisasi yang terdiri dari remaja dan tokoh masyarakat,
(3) mendirikan sekolah non formal. Kegiatan sekolah non formal meliputi berbagai program yang terintegrasi dari GLN yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan.
Mari kita dukung gerakan literasi nasional menuju Indonesia cerdas.(*)
Penulis: Iis Suwartini, M.Pd. dosen PBSI Universitas Ahmad Dahlan