Narsisme Politik di Persimpangan Jalan

Rabu, 13 September 2023 - 11:13:43


/
Oleh : Ahmad Hadziq
(Pemerhati Sosial dan Pemilu)
 
RADARJAMBI.CO.ID - Narsisme merupakan perasaan cinta kepada dirinya sendiri dengan memuji diri sendiri secara berlebihan. Dalam konteks politik, para narsisme seakan-akan mereka merasa dirinya yang paling baik, paling berprestasi dan paling peduli terhadap kesejahteraan rakyat.
 
Perilaku narsisme ini seolah demi memperjuangkan nasib rakyat, padahal tujuan utama mereka adalah untuk sosialisasi dan mencitrakan diri agar berhasil merebut kekuasaan pada saat pemilu nanti.
 
Seorang pakar psikologi Jhon W Santrock dalam bukunya Perkembangan Anak Edisi 7 (2011) menjelaskan narsisme adalah pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri (self-centered) dan memikirkan diri sendiri (self-concerned). 
Jika melihat realita saat ini di tengah tahapan Pemilu, apa yang dijelaskan oleh Santrock semakin jelas nyata kita temukan narsisme politik dalam bentuk baliho dan spanduk di simpang jalan yang menampilkan foto diri.
 
Padahal, apa yang disampaikan bukanlah hal-hal yang luar biasa namun lebih menonjolkan foto diri dan nama. Justru yang menjadi luar biasa adalah  baliho dan spanduk yang terpasang sudah lebih mengarah kepada unsur-unsur kampanye meskipun tahapan itu belum di mulai. Baliho dan spanduk menjadi media yang popular di sebagian besar bacaleg dalam membangun kominikasi politik.
 
Baliho kemudian dijadikan sebagai simbol dan Bahasa politik dalam amatan Jean Baudrillard (Piliang,2009) disebut sebagai simulakra politik (Political Simulacra) yaitu suatu keadaan sedang berlangsungnya simbiosis strategis politik dan tekhnologi pencitraan (imagology) yang di dalamnya citra tentang tokoh dan partai di kemas dalam rangka mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga calon pemilih dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu (the imagology of politic).   
Dalam beberapa bulan terakhir, baliho-baliho yang terpasang tidak hanya menjadi bagian kampanye politik, bahkan sudah cukup mengganggu citra estetika kota. Tempat-tempat yang harusnya menjadi wilayah publik tak luput dari ramainya iklan-iklan politik. Namun di satu sisi, masyarakat juga memiliki hak atas informasi tentang calon dan program-program mereka.
 
Disinilah sebenarnya caleg di tuntut mampu melakukan metode yang kreatif dan edukatif kepada masyarakat seperti seminar, diskusi tentang isu-isu yang menarik saat ini, pelatihan-pelatihan kepada UMKM dan lainnya yang bisa meningkatkan interaksi aktif.   
 
Setiap daerah dengan karesteristiknya masing-masing tentu memiliki peraturan daerah tetang tata tertib dan estetika. Begitu pula dengan peraturan daerah tentang aturan pemasangan reklame yang dipastikan ketentuan itu banyak dilanggar oleh baliho-baliho bacaleg. Terlebih lagi dalam regulasi KPU maupun Bawaslu.
 
Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 menyebutkan bahwa tahapan kampanye baru akan di mulai pada 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024. Namun sebelum itu, para peserta pemilu diperbolehkan melakukan sosialisasi dengan ketentuan yang sudah di atur. Pada pasal 79 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 telah diatur bahwa partai politik peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan Pendidikan politik dengan metode pemasangan bendera partai politik dan nomor urutnya, pertemuan terbatas dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada KPU dan Bawaslu sesuai tingkatannya paling lambat satu hari sebelum pelaksanaan. 
 
Lantas apakah baliho bacaleg yang nyaris ditemukan terpasang di tiap persimpangan jalan termasuk pelanggaran kampanye? Bukankah tahapan kampanye sendiri belum di mulai? Menyikapi hal tersebut jika kembali pada Peraturan KPU nomor 15 tahun 2023 pasal 79 di jelaskan bahwa yang diperbolehkan sebelum memasuki tahapan kampanye hanya sosialisasi dan pertemuan terbatas.
 
Lebih dari itu, masih pada pasal tersebut di jelaskan pada ayat (4) dijelaskan bahwa sosialisasi yang dilakukan dilarang mengungkapkan citra diri dan melarang alat peraga kampanye di tempat umum. Sehingga tidak heran, mengutip pernyataan Anggota Bawaslu Totok Hariyono pada saat menutup Pelatihan Penguatan Kompetensi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2023-2028 sebagaimana yang dilansir di banyak media.
 
Beliau mengingatkan kepada jajarannya di kabupaten/kota agar tidak ragu untuk menertibkan alat peraga kampanye yang terpasang saat ini. Arahan itu tentulah tidaklah berlebihan sebagai pengingat kepada peserta pemilu agar taat kepada aturan sekaligus sebagai simbol bagi Bawaslu dalam penegakan hukum.
 
(sumber: website Bawaslu RI 27/8/2023) Sejalan dengan pernyataan tersebut, anggota Bawaslu Lolly Suhenti pun menyebutkan bahwa alat peraga yang berisikan visi misi, program dan gambar calon anggota legislatif masuk dalam kategori alat peraga kampanye, dan itu tidak boleh. (Tempo.co 5/8/2023)
 
Peraturan Bawaslu Nomor 33 tahun 2018 tentang perubahan Peraturan Bawaslu Nomor 28 tahun 2018 tentang Pengawasan Penyelenggaran Pemilu mengatur pada Pasal 46 bahwa Pengawas Pemilu menjatuhkan sanksi administrasi dan penurunan alat peraga kampanye kepada peserta yang melanggar aturan kampanye. Sedangkan yang dimaksud kategori pelanggaran kampanye pada pasal tersebut di jelaskan pada ayat (4) yaitu pemasangan alat peraga kampanye di luar jadwal dan penyebaran bahan kampanye di luar jadwal.  
 
Narsisme politik dalam bentuk baliho atau iklan luar ruang yang ilegal bukan hanya beririsan dengan etika politik. Lebih daripada itu, kehadiran mereka telah mendisrupsi bisnis iklan luar ruang lainnya. Bagaimana tidak, orang akan berpikir bila iklan ilegal saja bisa, mengapa harus memilih yang berbayar? Sama halnya jika aktifitas itu di biarkan akan menimbulkan ketidak adilan bagi peserta lainnya yang mengikuti aturan. Mereka akan berfikir ketika larangan itu di biarkan, mengapa harus ikut aturan? Oleh karenanya penting bagi semua bacaleg untuk menahan diri dan bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah untuk menegakkan aturan. Jangan sampai aksi narsisme politik semakin bertambah karena tidak adanya kejelasan sanksi.
 
Ibarat narsisme politik di persimpangan jalan, maka mau di bawa kemana arah selanjutnya tergantung pada pemangku kebijakan. (*/ken)