Hukum Perizinan di Pusaran Politik dan Kekuasaan

Selasa, 07 November 2023 - 00:45:30


Jamhuri Direktur Eksekutif LSM Sembilan
Jamhuri Direktur Eksekutif LSM Sembilan /

Oleh : Jamhuri Direktur Eksekutif LSM Sembilan

Aksi Spontan sejumlah masyarakat warga di RT 04 Kelurahan Aur Kenali Kecamatan Telanaipura Kota Jambi sebagaimana yang dilansir oleh pemilik akun Instagram JambiOne.com merupakan suatu signalemen lemahnya penegakan hukum.

Masyarakat menilai bahwa hukum gagal dan  setidak-tidaknya belum mampu berbuat dan bertindak sebagaimana fungsi dan tujuan hukum.

Sekaligus merupakan pembuktian terhadap dugaan bahwa pada beberapa waktu yang lalu masyarakat telah keliru mempergunakan hak suara dalam menentukan pilihan pada proses pesta demokrasi.

Setelah memperkirakan bahwa apa yang akan di bangun di lingkungan tempat tinggal mereka akan merugikan, maka masyarakat yang seakan-akan tersadar dari mimpi buruk yang panjang terhadap pelaksanaan birokrasi pemerintahan yang diharapkan akan mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemerintah sesuai dengan tujuan negara.

Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan kiranya keresahan warga tersebut lebih termotivasi atau dipicu oleh kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi pada tahun 2015 yang lalu memberikan izin kepada PT. Sinar Anugerah Sukses (SAS).

Kemarahan warga tersebut karena adanya penyalah gunaan izin yang tidak sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut yang hanya menyebutkan memberikan izin untuk pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan pembangunan Jalan Khusus Angkutan Batubara yang dimulai dari Kabupaten Sarulangun hingga ke Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi serta tidak menyebutkan tentang Stoctpile.

Salah satu Izin vital yang ditemukan yaitu berupa keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jambi dengan Nomor 05/Kep.Ka.BPMD-PPT-4/2015 tentang Izin Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Pembangunan Jalan Angkutan Batubara sepanjang 108 Km dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) seluas 70 Hektar di Kabupaten Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi dan Kota Jambi oleh PT. Sinar Anugerah Sejahtera. 

Izin yang diberikan ditanda tangani oleh Kepala Badan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jambi pada tanggal 30 Januari 2015 tersebut ditenggarai merupakan suatu kebijakan yang tidak masuk akal, karena mengandung cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran. Serta patut diduga merupakan hasil dari praktek mafia perizinan.

Bagaimana mungkin satu berkas izin lingkungan hidup berlaku untuk beberapa daerah yang berbeda atau dengan kata lain diberikan dengan tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan perbedaan tofografi dan aspek geografis daerah yang dijadikan obyek atau tempat pelaksanaan pembangunan tersebut TUKS tersebut.

Selain daripada itu telah terjadi kekeliruan pemahaman baik oleh pihak pemberi maupun pihak penerima izin terhadap defenisi TUKS dan Stoctpile.

Keputusan yang diikuti dengan Keputusan Gubernur Jambi Nomor 360 tahun 2015 tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Jalan Khusus Angkutan Batubara dan Terminal Khusus Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Atas Nama PT. Sinar Anugerah Sejahtera Terletak di Desa Lubuk Napal, Lamban Sigatal, Guruh Baru, Jati Baru, Penerokan, Pompa Air, Sungkai, Ladang Peris, Bungku, Baru, Muhajirin, Sungai Bertam, Pematang Gajah, Mendalo Darat, dan Kelurahan Penyengat Rendah, Kecamatan Pauh, Bajubang Mestong, Jambi Luar Kota, dan Telanaipura, Kabupaten Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi dan Kota Jambi Provinsi Jambi yang ditetapkan dan ditandatangani untuk diberikan oleh Gubernur Jambi waktu itu pada tanggal 28 Juli 20015.

Suatu fakta hukum yang menunjukan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh penerima izin dengan menggunakan izin lingkungan hidup yang telah kadaluarsa atau telah berakhir massa berlakunya pada Januari 2018 yang lalu sebagai dalil untuk melakukan kegiatan pembangunan tempat usaha dengan tanpa izin.

Izin Lingkungan yang menyebabkan lahirnya Keputusan Gubernur tersebut beserta dengan semua instrumentnya disinyalir merupakan perizinan yang cacat hukum atau dengan kata lain jika dilihat dengan perspektif hukum pembuktian dan fiksi hukum maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut telah sengaja dilakukan dan disadari bertentangan dengan azaz dan norma atau kaidah Hukum Perizinan, Hukum Lingkungan, Hukum Pertanahan, dan Hukum Administrasi Negara (HAN) serta Hukum Pidana, tidak menutup kemungkinan ada atau telah terjadi pergeseran makna PNBP setidak-tidaknya menyangkut penggunaan tanah yang telah berubah menjadi sebuah plesetan yaitu “Pendapatan Negara Buat Pejabat/Pembesar”.

Selain itu diprediksi keresahan warga juga termotivasi oleh karena adanya pelaksanaan proses penegakan hukum yang bersifat multy tafsir, karena dilakukan oleh pihak yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam melakukan tindakan hukum terhadap indikasi perbuatan melawan hukum yang telah terjadi.

Karena di lokasi tempat kejadian tersebut telah terjadi perbuatan dengan indikasi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Sumber Daya Air dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebuah pelaksanaan proses penegakan hukum yang sama sekali tidak mendasar yang diduga disebabkan karena tidak mengertian akan azaz hukum yang menetapkan bahwa undang-undang atau norma/aturan hukum yang lebih tinggi dapat meniadakan keberlakuan undang-undang atau norma/aturan hukum yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori). 

Secara yuridis ketentuan Pasal 5 huruf a Peraturan Pemreintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Satuan Polisi Pamong Praja ditiadakan dengan berlakunya Pasal 5 ayat (1) yang menetapkan tentang peranan pihak Kepolisian dan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menegaskan tentang tugas pokok Kepolisian. 

Dengan begitu walaupun seandainya di lokasi tempat kejadian tersebut memang telah terjadi pelanggaran terhadap Peraturan Daerah sebagaimana yang dituduhkan oleh Pemerintahan Kota Jambi akan tetapi bukan berarti menjadi kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja melakukan proses penegakan hukum. 

Dimana di tempat kejadian tersebut telah terjadi perbuatan dengan indikasi berupa pelanggaran terhadap Pasal 25 huruf b Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dengan ancaman Pidana berupa kurungan Penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan selama-lamanya 9 tahun dan denda paling sedikit Lima Miliar Rupiah dan paling banyak Lima Belas Miliar Rupiah sebagaimana ketentuan Pasal 68 huruf a undang-undang yang dimaksud. 

Pandangan multy tafsir terhadap kewenangan melakukan proses penegakan hukum tersebut juga terlihat dengan mempergunakan perspektif hukum lingkungan hidup dimana tindakan atau perbuatan oleh PT. SAS patut diduga kuat untuk diyakini tanpa disertai dengan kepatuhan terhadap izin lingkungan sebagaimana ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Itu berarti bahwa undang-undang tersebut menjadi payung hukum bagi peraturan perundang-undangan lainnya.

Hal tersebut terbukti dengan adanya upaya lobi-lobi  yang dilakukan oleh utusan dari PT. SAS yang ditolak oleh warga saat utusan tersebut secara diam-diam mendatangi kediaman ketua RT. 04 Kelurahan Aur Kenali Kecamatan Telanaipura Kota Jambi guna mendapatkan persetujuan yang bersangkutan.

Tindakan yang lantas mendapatkan penolakan warga dengan beramai-ramai medatangi rumah tersebut guna menyatakan penolakan mereka.

Secara yuridis perbuatan utusan tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan yang secara jujur disampaikan yang mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan menyangkut tentang Izin Lingkungan, dan Izin Sumber Daya Air. 

Kedua hal tersebut (pemberian izin dan proses penegakan hukum oleh Pemerintah Kota Jambi) menjadi pemicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai kwalitas kredibilitas dan akuntabilitas Pemerintah dan kwalitas daripada penegakan hukum itu sendiri. 

Masyarakat sebagai penerima warisan dosa-dosa kekuasaan penguasa bukannya menolak atau tidak menerima pembangunan akan tetapi tengah melakukan evaluasi dan koreksi terhadap penyelenggaraan kekuasaan pada organisasi kekuasaan dan pelaksanaan penegakan hukum. 

Evaluasi dan koreksi yang menujukan masyarakat lebih cerdas jika dibandingkan dengan pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera VI yang terkesan bersikap apatis terhadap perbuatan yang terjadi di lingkungan atau yang ada di depan mata mereka. 

Kecerdasan masyarakat yang mampu menunjukan suatu gambaran bahwa kebijakan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pihak pemerintah disinyalir telah menempatkan azaz dan norma atau kaidah hukum perizinan beserta seluruh instrumentnya berada dan terjepit atau terhimpit di dalam pusaran kepentingan Politik Kekuasaan dan Kekuasaan itu sendiri.

Secara normative Izin dapat diartikan sebagai tindakan menghalalkan sesuatu yang terlarang menurut hukum, atau dengan kata lain sesuatu yang haram menurut hukum dianggap halal selama masih berada dalam perlindungan atau dilindungi oleh izin yang diberikan oleh pihak yang berwenang memberikannya. 

Hal tersebut menimbulkan konsekwensi akan gugurnya semua akibat hukum selama perbuatan dan/atau benda tersebut masih berada dalam naungan izin yang diberikan. Artinya Izin tersebut memiliki kekuasaan mutlak, di sinilah letaknya hubungan (korelasi) antara kekusaan hukum dengan kekuasaan penguasa. Akan tetapi penguasa hanya sebatas sebagai pembuat hukum (law making) dan penguasa bukanlah hukum.

Persoalan yang dikhawatirkan masyarakat tersebut adalah merupakan suatu gambaran sketsa potret buram penggunaan kekuasaan yang lebih berpihak kepada kepentingan kafitalis atau merupakan penerapan praktek paham oligarki yang akan menciptakan bentuk pemerintahan otokrasi.

Keberpihakan dengan cara membuat suatu kebijakan yang terindikasi tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum, seakan-akan Hukum dijadikan alat pemuas bagi kepentingan pemenuhan tuntutan birahi stratifikasi sosial dengan mengorbankan kepentingan hak atas hajat hidup orang atau masyarakat banyak.

Secara eksplisit dengan aksi penolakan tersebut sebenarnya masyarakat sedang berharap akan kehadiran negara dan hukum guna melindungi dan membela kepentingan hajat hidup dan hak untuk dapat hidup layak serta mendapatkan lingkungan yang sehat serta pembangunan yang berkelanjutan.

Evaluasi yang dilakukan masyarakat tersebut merupakan pembuktian atas pelaksanaan praktek kekuasaan seperti yang digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman". 

Evaluasi dan ekspektasi yang bertumpu kepada sikap tegas dari Aparat Penegak Hukum yang berkompeten dalam hal ini pihak Kepolisian Daerah Jambi untuk segera melakukan proses hukum guna mengembalikan hukum kepada posisi dan proporsi yang sebenarnya yaitu sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum agar didapat kemanfaatan hukum, supaya masyarakat dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan serta kedamaian yang merupakan suatu hak yang paling mendasar (fundament).(*)