Radarjambi.co.id-Suatu malam saya bermimpi indah. Mimpi menjadi Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.
Dalam mimpi itu, saya benar-benar termotivasi ingin mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Motivasi itu bersumber dari pemahaman saya atas UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya Pasal 44 ayat (1).
Salah satu pilar untuk mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional adalah bahasa daerah. Terkait itu, kita amini slogan Badan Bahasa, yaitu “Menjunjung bahasa Indonesia, mencintai bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing”.
Posisi bahasa daerah di urutan kedua menunjukkan betapa pentingnya bahasa daerah setelah bahasa Indonesia. Untuk itu, sebagai Kepala Badan Bahasa, saya memiliki tiga program kerja terkait bahasa daerah.
Pendokumentasian Bahasa Daerah
Tiga program kerja saya itu, antara lain, pertama, pendokumentasian bahasa daerah, terutama yang terancam punah. Beautynesia (2023) menyebutkan empat bahasa daerah yang tergolong terancam punah, yaitu bahasa Retta, bahasa Saponi, bahasa Ibo, dan bahasa Meher (sumber: “Sederet Bahasa Daerah Indonesia ‘Kritis’, Terancam Punah, Sudah Tahu Apa Saja?, 21 Desember 2023). Mengatasi hal itu, kerja pendokumentasian bahasa dapat dimulai.
Sekadar informasi, bahasa Retta ditutur oleh penduduk Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian bahasa Saponi ditutur oleh etnis Woria di Kampung Botawa dan Kampung Ruambak SP (Satuan Pemukiman), Waropen, Papua.
Selanjutnya, bahasa Ibo ditutur oleh masyarakat Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Terakhir, bahasa Meher ditutur oleh penduduk etnis Meher, Pulau Kisar, Maluku.
Sebagai Kepala Badan Bahasa, saya segera mengutus tim peneliti bahasa di Kantor Bahasa NTT dan Kantor Bahasa Maluku guna mendokumentasikan bahasa Retta, bahasa Ibo, dan bahasa Meher.
Kemudian saya segera berkoordinasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar berkolaborasi untuk mendokumentasikan bahasa Saponi. Hal itu dikarenakan belum adanya Kantor Bahasa Papua sehingga peneliti Badan Bahasa dan BRIN dapat bekerja sama.
Kerja pendokumentasian bahasa daerah, terkhusus bahasa Retta, bahasa Saponi, bahasa Ibo, dan bahasa Meher perlu didukung maksimal oleh Badan Bahasa dan pemerintah daerah.
Kelak, dari situlah akan tercipta kamus Retta-Indonesia, Saponi-Indonesia, Ibo-Indonesia, dan Meher-Indonesia. Kemudian tercipta pula rekaman suara penutur keempat bahasa daerah itu. Selain itu, perlu pula pembuatan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk dua produk tadi.
Penghargaan Bahasa Daerah
Kedua, penghargaan bahasa daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, terutama Pasal 6 ayat (1) disebutkan, bahasa daerah berfungsi sebagai (a) pembentuk kepribadian suku bangsa; (b) peneguh jati diri kedaerahan; dan (c) sarana pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan.
Kalimat yang ditulis terakhir itu telah diwujudkan oleh Yayasan Rancage dan Yayasan Sastra Yogya (Yasayo).
Berkat bantuan Ajip Rosidi, Yayasan Rancage rutin memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis karya sastra daerah. Di antaranya, sastrawan Jawa, Sunda, Bali, dan Lampung yang menulis karya sastra dengan bahasa daerah masing-masing. Dengan begitu, saya yakin sastra Jawa, Sunda, Bali, dan Lampung tetap lestari sampai kini.
Kemudian, berkat bantuan Prof. Rachmat Djoko Pradopo, Yasayo rutin memberikan penghargaan kepada para peneliti sastra Indonesia dan sastra daerah. Di mata Yasayo, peneliti sastra Indonesia dan sastra daerah bekerja dalam sunyi.
Atas kondisi itu, sebagai Kepala Badan Bahasa, saya akan memberikan penghargaan serupa penghargaan dari Yayasan Rancage dan Yasayo. Penghargaan itu diberikan pada 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII).
Selanjutnya, dalam rangka penghargaan atas bahasa dan sastra daerah, saya akan menyurati para gubernur tentang pentingnya bahasa daerah di wilayahnya.
Misalnya, saya akan menyurati Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Kang Emil, agar dirinya menaruh perhatian besar kepada bahasa dan sastra Sunda. Kang Emil akan membiayai penerbitan buku atau karya sastra berbahasa Sunda; atau memberikan penghargaan bagi sastrawan Sunda.
Nama Jalan Sastrawan Daerah
Ketiga, pemberian nama jalan sastrawan daerah. Dalam artikelnya “Analisis Nama-Nama Jalan di Kota Pematang Siantar: Kajian Antropolinguistik” (2023) yang terbit di Jurnal Pendidikan Tambusai, Volume 7, Nomor 3, hlm. 29177-29194, Monika Margaretha Simatupang, dkk. menjelaskan, latar belakang nama jalan terdiri atas tiga hal. Pertama, aspek perwujudan (flora/fauna).
Kedua, aspek masyarakat (tokoh pejuang). Dan ketiga, aspek kebudayaan (asal usul legenda).
Khusus aspek masyarakat, saya sebagai Kepala Badan Bahasa ingin membuat program kerja pemberian nama jalan sastrawan daerah. Nama sastrawan daerah terpilih dengan memenuhi tiga syarat, yaitu
(1) sudah meninggal dunia,
(2) memiliki karya sastra, dan
(3) pernah memiliki prestasi/penghargaan. Sebagai contoh, di Yogyakarta, saya imajinasikan ada nama-nama jalan seperti Jalan Umar Kayam, Jalan Iman Budhi Santosa, Jalan Linus Suryadi AG, dsb.
Pemberian nama jalan sastrawan daerah saya anggap sebagai ikhtiar menghormati eksistensi bahasa daerah di Indonesia. Bagaimana pun, kita sangat bersyukur bahwa Indonesia memiliki 718 bahasa daerah.
Untuk itu, jika tidak kita yang merawat 718 bahasa daerah itu, lantas siapa lagi? Jika tidak sekarang kita yang merawat 718 bahasa daerah, lantas kapan lagi? Mari kita bergandeng tangan untuk bersama-sama merawat 718 bahasa daerah sebagai karunia dari Ilahi.(*)
Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Anggota PRM Nogotirto
Pengaruh Literasi Keuangan Terhadap Perilaku Konsumtif Mahasiswa
Pengawasan Pemerintah Kota Jambi terhadap Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum
PetroChina International Jabung Raih Penghargaan Subroto 2024