Narasi Seragam Baru di Era Post-Truth

Jumat, 26 April 2024 - 20:20:04


Isna Ilham Nur Rizki
Isna Ilham Nur Rizki /

Radarjambi.co.id-Belakangan ini, dunia pendidikan diramaikan oleh narasi yang menyangkut kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Kebijakan tersebut adalah kebijakan seragam peserta didik pada sekolah tingkat dasar hingga sekolah menengah atas.

Narasi ini sempat menjadi topik utama di media sosial X atau twitter. Beberapa warganet memberikan komentar yang rasional di media sosial X dengan menyebut akun dari Kemendikbud Ristek.

Namun, sangat disayangkan tidak sedikit pula komentar emosional terikat narasi ini yang dilontarkan kepada Nadiem Makarim sebagai Mendikbud.

Respon negatif ini muncul karena kekhawatiran warganet terhadap narasi yang seolah olah benar adanya.

Kekhawatiran itu memuncak karena narasi diperkuat oleh beberapa akun dengan pengikut yang tidak sedikit. Terlihat pula akun oposisi melibatkan diri untuk membakar narasi tersebut.

Narasi kebijakan seragam baru tidak hanya meledak di media sosial X, tetapi kanal berita online juga menggoreng narasi ini.

Namun, apabila isi dari berita dibaca dengan teliti, tidak terdapat penjelasan adanya kebijakan baru dari Kemendikbud Ristek.

Kanal berita online hanya menuliskan judul terkait kebijakan baru, tetapi Permendikbud Ristek yang dibahas tetaplah sama atau tidak ada perubahan.
Narasi kebijakan seragam baru merupakan ekor panjang dari kebijakan penghapusan pramuka dari ekstrakurikuler wajib.

Dalam Permendikbud Ristek Nomor 50 Tahun 2022 dijelaskan bahwa jenis seragam sekolah yang digunakan oleh peserta didik tingkat SD hingga SMA adalah seragam nasional dan seragam pramuka.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa seragam pramuka digunakan saat hari pramuka atau hari yang ditetapkan sekolah dimana ekstrakurikuler pramuka dilaksanakan.

Selain itu, narasi kebijakan seragam sekolah baru juga menyoroti pengenaan pakaian adat bagi peserta didik pada sekolah.

Pengenaan pakaian adat disalahpahami sebagai kewajiban menggunakan pakaian adat di sekolah.

Hal itu menimbulkan silang pendapat warganet yang di daerahnya belum terdapat aturan pengenaan pakaian adat. Faktanya pengenaan pakaian adat sudah diatur dalam Permendikbud Ristek Nomor 50 Tahun 2022 dari awal.

Namun, pada poin ini kementerian tidak mewajibkan peserta didik mengenakannya.

Banyaknya pihak yang melibatkan diri untuk membahas narasi kebijakan seragam baru, menjadikan kebenarannya semakin bias.

Selain itu, emosi pembaca juga terpengaruh karena cepatnya distribusi informasi yang belum dapat diverifikasi kebenarannya.

Peningkatan kecepatan distribusi informasi yang tidak diimbangi dengan tingginya tingkat literasi hanya akan menimbulkan efek bias tersebut.

Narasi yang belum jelas kebenarannya akan terlihat seperti fakta apabila pemberitaan itu terus diulang. Hal seperti itu terjadi di era post-truth atau pasca kebenaran.

Post-truth  merupakan situasi ketika fakta tidak terlalu berpengaruh pada pembentukan opini dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi atau personal.

Post-truth dapat disebut juga sebagai era kebohongan karena kebenaran yang bersifat emosional lebih dipentingkan atau mudah mempengaruhi opini publik daripada kebenaran yang bersifat faktual.

Kebenaran yang bersifat emosional atau narasi yang dapat memanipulasi emosi khalayak lebih cepat terjadi apabila penyebaran narasi dilakukan secara berulang.

Hal ini dibuktikan pada narasi kebijakan seragam baru yang berhasil membentuk opini publik.

Dampak dari post-truth ini sangat berbahaya karena khalayak dibingungkan oleh kebenaran informasi yang beredar. Bahkan, pembaca akan berperan dalam fenomena ini secara tidak sadar.

Mereka akan menangkap mentah informasi tanpa mempertimbangkan fakta dan turut membentuk opini publik.

Namun, dampak tersebut dapat ditekan apabila setiap lapisan masyarakat bersama-sama memverifikasi dan memastikan sumber informasi yang ada.

Dengan demikian, era post-truth akan lenyap dan tidak perlu khawatir terhadap berita palsu.(*)
 

 

Penulis: Isna Ilham Nur Rizki
Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra