Menyigi Bonus Demografi

Selasa, 03 Januari 2023 - 20:37:25


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Gunawan Budiyanto melempar wacana menarik baru-baru ini. Katanya, istilah bonus demografi tidak dijelaskan secara tuntas sehingga selalu menjadi jualan para politikus dan calon pejabat.

Kata-kata Rektor UMY itu ada benarnya dan menjadi bahan renungan kita bersama saat ini. Apakah kita sudah siap menyongsong bonus demografi yang terjadi pada tahun-tahun mendatang?

Sejumlah literatur memuat informasi perihal bonus demografi (Jati, 2015; Falikhah, 2017; Mukri, 2018; dan Prasarti & Prakoso, 2020). Bonus demografi adalah kondisi saat struktur penduduk didominasi oleh kalangan usia produktif (15-64 tahun).

Bonus demografi, sesuai sumber Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terjadi pada rentang tahun 2020-2035. Yang istimewa, bonus demografi hanya sekali terjadi dalam sebuah bangsa.

 Beberapa Indikator

Merujuk BKKBN, bonus demografi ditandai dengan beberapa indikator. Pertama, turunnya angka kelahiran dan angka kematian.

Kedua, proporsi penduduk usia angkatan kerja mulai meningkat. Ketiga, peluang bonus demografi terjadi selama 10 tahun (tahun 2020-2030) dengan angka ketergantungan sebesar 44 per 100.

Selanjutnya, berubah menjadi 4 tahun (2028-2031) karena tingkat fertilitas stagnan. Angka ketergantungan meningkat menjadi 47 per 100.

Terkait itu, ada upaya-upaya dalam menyongsong bonus demografi, yaitu kualitas penduduk, lapangan kerja berkualitas, tabungan keluarga, program Keluarga Berencana (KB), dan perempuan masuk pasar kerja.

Dalam artikel ini, penulis hanya berfokus pada upaya kualitas penduduk, terutama generasi muda Indonesia berusia produktif sebanyak 70%. Kualitas penduduk Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah (PR) kita bersama saat ini.

Kita berharap, empat hal berikut terwujud pada generasi muda Indonesia kini dan nanti. Pertama, mereka memiliki kecerdasan komprehensif, yaitu produktif dan inovatif. 

Produktivitas dan inovasi bertumbuh pada kalangan siswa di sekolah dan mahasiswa di kampus. Terutama siswa dan mahasiswa yang terlibat dalam pembelajaran berdimensi Keterampilan Abad 21. Di dalamnya ada critical thinking, creativity, collaboration, dan communication (4C).

Kedua, mereka berdamai dalam interaksi sosialnya dan berkarakter yang kuat. Generasi muda Indonesia, terspesial siswa di sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA)/sederajat, dididik untuk berinteraksi sosial dengan baik.

Selain itu, mereka juga dididik untuk memiliki karakter-karakter positif, seperti disiplin, suka membaca, dan bergotong royong. Kelak, mereka dapat menjadi generasi muda global sekaligus lokal.

Ketiga, mereka senantiasa sehat dan menyehatkan dalam interaksi dengan alam sekitar. Terkait ini, kini sedang digiatkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di tiap-tiap satuan pendidikan (SD-SMA).

Sekurangnya ada tiga tema yang diproyeksikan, antara lain.

(1) gaya hidup berkelanjutan

(2) kearifan lokal dan

(3) kebekerjaan. Sebagai bukti, SDIT Alam Nurul Islam, Yogyakarta, telah merintis budaya zero waste terhadap sampah plastik di lingkungan sekitarnya.

 PR Kita Bersama

Keempat, mereka memiliki peradaban unggul. Bangsa yang beradab ialah bangsa yang berliterat tinggi. Apabila sebuah bangsa masih memiliki beragam masalah, ada dugaan bangsa itu belum berliterat tinggi.

Tingginya jumlah kasus korupsi, kasus kecelakaan, dan kasus tawuran antarpendukung tim sepakbola adalah tanda-tanda bahwa bangsa kita belum berliterat tinggi. Ini artinya menjadi PR kita bersama (guru/dosen, orang tua, dan masyarakat umum).

Empat hal di atas semoga dapat diwujudkan oleh generasi muda Indonesia berusia produktif (15-64 tahun) kini dan nanti. Usia produktif generasi muda Indonesia menjadi faktor kunci dalam menyongsong bonus demografi pada tahun 2035 mendatang, atau 12 tahun lagi sejak sekarang.

Generasi muda Indonesia yang masih belajar di bangku SD-SMA dan perguruan tinggi (PT) kini harus cakap profesional, emosional, intelektual, sosial, dan lingual. Semoga terwujud!.(*)

 

Penulis: Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD;

Mahasiswa S-3 Ilmu Pendidikan Bahasa UNY